Tulisan ini pernah dimuat di Suara Pembaruan
Salah seorang sahabat saya telah memberikan sebuah buku sederhana berjudul “The Power of Kindness” karya Piero Ferrucci. Bagi saya buku tersebut bagaikan secangkir teh hangat di tengah cuaca yang dingin. Ditulis dengan sederhana, tanpa upaya kosmetik untuk mempercantik diri, tetapi tak urung keindahannya memancar jua. Mungkin keindahan tersebut berasal dari ketulusan dan kejujuran dalam mengangkat suatu topik yang begitu sederhana, begitu “sepele”, begitu sering kita take it for granted; namun menggemakan pusat keberadaan diri kita sebagai manusia, yaitu kebermaknaan kita. Tulisan berikut ini bukan merupakan resensi atas buku tersebut, tetapi merupakan respon (pribadi) saya setelah membaca buku tersebut.
Dalam masyarakat yang semakin cosmopolitan ini, tidak hanya terjadi global warming yang mengancam keberadaan kehidupan di planet kita, tetapi juga (social) global colding – yaitu semakin mendinginnya hubungan antar manusia. Dalam bukunya yang berjudul “Social Intelligence”, Daniel Goleman mengatakan bahwa sedang terjadi korosi sosial yang menggerogoti kesalingterjalinan antar manusia. Tanpa disadari, orang-orang semakin terpisah satu sama lain, termiskinkan dalam hal relasi sosial dan makin kesepian. Di tengah maraknya Facebook dan Black Berry, yang sepintas tampak memudahkan kita menjalin kontak dengan orang lain, kualitas hubungan manusia tidak otomatis menjadi lebih baik. Saya sendiri harus dengan malu mengakui bahwa tidak semua kontak saya di Facebook, saya kenal dengan baik; apalagi sempat bertegur sapa yang hangat tentang keadaan masing-masing. Barangkali Facebook diciptakan memang bukan untuk memperhangat relasi antar manusia, melainkan sekedar memudahkan menjalin kontak dengan orang lain.
Bila dalam global warming, banyak species yang terancam kepunahan karena keserakahan manusia, maka dalam social global colding banyak kebajikan dasar (virtues) manusia yang juga terancam dan menjadi semakin langka. Belaian kasih seorang ibu pada bayinya yang baru dilahirkan – bukan lagi menjadi sesuatu yang niscaya; melainkan menjadi suatu kemewahan bagi para perempuan karir yang dikejar jadwal kerja yang padat. Percakapan sederhana yang hangat dengan sahabat atau keluarga, digantikan oleh pesan singkat, chatting dan percakapan di telepon yang terburu-buru. Dan cinta? Cinta adalah kebajikan yang pertama menjadi korban dan telah dijadikan komoditi. Seperti kata Ferrucci dalam bukunya; karena banyak sekali orang yang haus akan cinta yang tulus – tetapi mereka telah kehilangan makna akan hal tersebut – maka cinta adalah salah satu komoditi paling laku untuk dijual. Anda tidak memperoleh cinta? Lihat saja film-film romantic atau sinetron-sinetron di televisi yang menjanjikan memenuhi dahaga anda dengan fantasi.
Hal lain yang terancam kepunahan adalah kebaikan hati. Kebaikan hati adalah lentera jiwa manusia yang merupakan bukti bahwa manusia diciptakan menurut citra Allah. Namun hari-hari ini kebaikan hati akan dipandang sebagai sesuatu yang naïf dan kontra survival. Di tengah dunia yang ganas ini, hukum rimba adalah “kebajikan” yang diagungkan. Para ilmuwan pun kadang seperti tanpa kritik merangkul penuh interpretasi tunggal tentang evolusi (yang disempitkan oleh materialisme), bahwa pada akhirnya yang paling penting adalah sekedar survival of the fittest. Dalam dunia semacam itu, tidak ada tempat bagi kebaikan hati. Lebih buruk lagi, orang yang baik hati adalah sarapan pagi bagi predator-predator semacam tokoh yang bernama Bento.
Apakah benar kebaikan hati itu kontra survival, dan merupakan semacam kenaifan yang harus secepatnya dienyahkan? Apakah benar orang-orang yang baik hati akan dilindas oleh kehidupan dan ditelan mentah-mentah oleh orang-orang yang menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan? Sepintas tampaknya demikian. Namun berbagai penelitian selama bertahun-tahun secara konsisten menunjukkan hal yang berbeda. Efek melakukan kebaikan pada kesehatan, baik kesehatan mental maupun fisik telah banyak dibuktikan. Allan Luks dan Peggy Payne telah mendokumentasikan berbagai penelitian yang dilakukan sejak 1988, dalam buku mereka yang berjudul “The healing power of doing good”. Beberapa manfaat yang terkait dengan kebiasaan melakukan kebaikan antara lain: menjadi lebih optimis dan sejahtera, lebih sering merasa gembira dan penuh semangat, lebih sedikit merasa kesepian dan depresi, lebih jarang mengalami insomnia, berat badan cenderung lebih terkontrol, tekanan darah cenderung stabil dan kesehatan jantung lebih terjaga, sistem kekebalan tubuh lebih kuat, lebih panjang umur, dan lain-lain. Singkatnya, tidak hanya kebiasaan melakukan kebaikan cenderung membuat orang lebih sehat dan lebih panjang umur, tetapi juga meningkatkan kualitas kehidupan.
Sedikit catatan tentang efek buruk dari melakukan kebaikan adalah: bilamana melakukan kebaikan dirasakan sebagai suatu beban dan kewajiban, maka efek-efek positif tadi mungkin tidak akan terjadi, melainkan menjadi sumber stress yang merugikan kesehatan fisik dan mental. Salah satu tanda bahwa anda sedang melakukan kebaikan adalah rasa bahagia yang tulus menyala dalam diri anda. Kalau anda memaksakan diri, maka anda sedang berbuat tidak baik pada diri anda sendiri.
Kebaikan juga tidak kontra rational. Artinya seseorang yang sungguh berbuat baik tidak mengesampingkan pertimbangan-pertimbangan rasional dalam memutuskan untuk berbuat baik. Berbuat baik, tidaklah dilakukan dengan membuta; dan berbuat baik, sangatlah berbeda dengan kebodohan. Kebaikan yang sejati dilandasi oleh kebijaksanaan untuk mampu membedakan mana yang paling tepat untuk dilakukan. Kalau anda sudah tahu bahwa seseorang akan menipu anda, maka anda tidaklah berbuat baik bilamana membiarkannya melakukan niatnya. Kita pun tidak dapat melepaskan begitu saja seorang koruptor, atas nama kebaikan hati dan rasa kasihan. Kebaikan hati tidak sama dengan kelemahan.
Penelitian-penelitian yang membuktikan tentang efek positif kebaikan hati terus bertambah dari tahun ke tahun. Oleh karena itu pesannya jelas: rupanya alam nan bijak ini tidak semata-mata digerakkan oleh hukum survival of the fittest yang sempit. Kebaikan, rupanya adalah elemen kunci – yang sekalipun sepintas tampak tak sesuai dengan elemen-elemen survival lainnya – untuk bukan hanya survive, melainkan menemukan makna dan alasan mengapa manusia ingin survive. Apakah ada gunanya bila seseorang menjadi yang paling tangguh dan berkuasa dan dapat bertahan hidup; bilamana ia menemukan bahwa hidup itu sendiri sudah tak bermakna. Kebaikan tampaknya adalah bukti bahwa manusia itu lebih dari sekedar hewan ekonomi yang memperebutkan berbagai sumberdaya yang terbatas. Dengan kebaikan, seseorang melampaui batas-batas keberadaan dirinya yang sempit dan menemukan kebahagiaan yang sejati.
http://imansetiadi8.blogspot.co.id/2009/06/yang-terancam-punah-kebaikan-hati.html